Kamis, 09 Januari 2014

Dosa Besar (Al-Kabaair)

Allah ta’ala berfirman :
إِنْ تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُمْ مُدْخَلا كَرِيمًا
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-kesalahanmu (dosa-dosamu yang kecil) dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga)” [QS. An-Nisaa’ : 31].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ وَالْجُمْعَةُ إِلَى الْجُمْعَةِ وَرَمَضَانُ إِلَى رَمَضَانَ مُكَفِّرَاتٌ مَا بَيْنَهُنَّ إِذَا اجْتَنَبَ الْكَبَائِرَ
“Shalat fardlu yang lima, shalat Jum’at hingga shalat Jum’at berikutnya, dan puasa Ramadlaan hingga puasa Ramadlaan berikutnya adalah penghapus dosa-dosa yang ada di antaranya, apabila orang tersebut meninggalkan dosa-dosa besar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 233].
Dosa besar dalam dua nash di atas disebutkan dengan kabaair (كَبَائِرٌ).

Ibnul-Mandhuur rahimahullah berkata :
ابن سيده: والكِبْرُ الإِثم الكبير وما وعد الله عليه النار. والكِبْرَةُ: كالكِبْرِ، التأْنيث على المبالغة. وفي التنزيل العزيز: الذين يَجْتَنِبُون كبائرَ الإِثم والفَواحشَ. وفي الأَحاديث ذكر الكبائر في غير موضع، واحدتها كبيرة، وهي الفَعْلةُ القبيحةُ من الذنوب المَنْهِيِّ عنها شرعاً، العظيم أَمرها كالقتل والزنا والفرار من الزحف وغير ذلك
“Ibnu Sayyidih berkata : ‘Dan al-kibru adalah dosa besar yang Allah ancam dengan siksa neraka. Dan al-kibratu adalah seperti al-kibru, dimana penambahan huruf ta’ ta’niits (ة) menunjukkan makna mubalaghah (sangat)’. Dalam Al-Qur’an disebutkan : ‘Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar (kabaair) dan perbuatan keji’ (QS. An-Najm : 32). Dan dalam hadits-hadits, penyebutan kata kabaair terdapat dalam beberapa tempat. Bentuk tunggal dari kabaair adalah kabiirah (كَبِيْرَةٌ), maknanya : perbuatan jelek dari dosa-dosa yang dilarang oleh syari’at karena begitu besarnya perkara tersebut, seperti : pembunuhan, zina, melarikan diri dari pertempuran (jihad), dan yang lainnya” [Lisaanul-‘Arab, hal. 3809, tahqiq : ‘Abdullah bin ‘Aliy Al-Kabiir dkk.; Daarul-Ma’aarif, Kairo].
Banyak ulama yang mendefinisikan makna dosa besar (kabaair) menurut terminologi syari’at.
Ibnu Jarir rahimahullah membawakan riwayat sebagai berikut :
حدثني يعقوب، حدثنا ابن علية، أخبرنا أيوب، عن محمد بن سيرين قال: نبئت أن ابن عباس كان يقول: كل ما نهى الله عنه كبيرة
Telah menceritakan kepada kami Ya’quub[1] : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah[2] : Telah mengkhabarkan kepada kami Ayyuub[3], dari Muhammad bin Siiriin[4], ia berkata : “Aku diberi tahu bahwa Ibnu ‘Abbaas berkata : ‘Setiap hal yang dilarang Allah adalah dosa besar” [Tafsir Ibnu Jariir 8/244 no. 9202 dan Tafsiir Ibni Katsiir 2/283; shahih].
حدثنا أبو كريب قال، حدثنا هشيم، عن منصور، عن ابن سيرين، عن ابن عباس قال: ذكرت عنده الكبائر فقال: كل ما نهى الله عنه فهو كبيرة.
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib[5], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Husyaim[6], dari Manshuur[7], dari Ibnu Siiriin, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Disebutkan di sisinya tentang dosa-dosa besar (al-kabaair), lalu ia berkata : Setiap hal yang dilarang Allah, maka ia adalah dosa besar” [Tafsiir Ibni Jariir 8/244 no. 9201; dla’if karena ‘an’anah Husyaim, akan tetapi ia hasan karena riwayat sebelumnya].
حدثني يعقوب بن إبراهيم قال، حدثنا ابن علية قال، أخبرنا هشام بن حسان، عن محمد بن واسع قال، قال سعيد بن جبير: كل موجبة في القرآن كبيرة.
Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Ibraahiim, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Ulayyah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Hisyaam bin Hassaan[8], dari Muhammad bin Waasi’[9], ia berkata : Telah berkata Sa’iid bin Jubair[10] : “Semua hal yang menyebabkan/mengkonsekuensikan (ancaman neraka) dalam Al-Qur’an adalah dosa besar” [idem, 8/246-247 no. 9213; shahih].
حدثنا ابن وكيع قال، حدثنا أبي، عن محمد بن مِهْزَم الشعاب، عن محمد بن واسع الأزدي، عن سعيد بن جبير قال: كل ذنب نسبه الله إلى النار، فهو من الكبائر
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wakii’[11], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ayahku[12], dari Muhammad bin Mihzam Asy-Sya’’aab[13], dari Muhammad bin Waasi’ Al-Azdiy, dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata : “Setiap dosa yang Allah nisbatkan pelakunya (masuk) ke dalam neraka, maka itu termasuk dosa besar” [idem, 8/247 no. 9214; dla’if karena Ibnu Wakii’, namun ia hasan dengan riwayat sebelumnya yang semakna].
حدثني محمد بن عمرو قال، حدثنا أبو عاصم، عن عيسى، عن ابن أبي نجيح، عن مجاهد في قول الله:"إن تجتنبوا كبائر ما تنهون عنه"، قال: الموجبات.
Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Amru[14], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Aashim[15], dari ‘Iisaa[16], dari Ibnu Abi Najiih[17], dari Mujaahid tentang firman Allah ta’ala : ‘Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang dilarang kamu mengerjakannya’; ia berkata : “Hal-hal yang menyebabkan/mengkonsekuensikan (ancaman neraka)” [idem, 8/247 no. 9216; shahih].
Ar-Raafi’iy rahimahullah berkata dalam Asy-Syarhul-Kabiir :
الكبيرة هي الموجبة للحد، وقيل ما يلحق الوعيد بصاحبه بنص كتاب أو سنة
“Dosa besar adalah sesuatu yang mengkonsekuensikan adanya hadd. Dikatakan pula, segala sesuatu yang menetapkan adanya ancaman bagi pelakunya berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah” [Fathul-Baariy, 12/183].
Al-Maawardiy rahimahullah berkata dalam Al-Haawiy :
هي ما يوجب الحد أو توجه إليها الوعيد
“Dosa besar adalah segala sesuatu yang mewajibkan adanya hadd atau ditujukan kepadanya ancaman” [idem, 12/184].
Al-Baghawiy rahimahullah berkata :
فكل ما يوجب الحد من المعاصي فهو كبيرة، وقيل ما يلحق الوعيد بصاحبه بنص كتاب أو سنة
“Semua kemaksiatan yang mewajibkan adanya hadd, maka ia dinamakan dosa besar. Dikatakan pula, segala sesuatu yang menetapkan adanya ancaman bagi pelakunya berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah” [idem].
Ibnu ‘Abdis-Salaam rahimahullah berkata :
لم أقف على ضابط الكبيرة يعني يسلم من الاعتراض، قال: والأولى ضبطها بما يشعر بتهاون مرتكبها إشعار أصغر الكبائر المنصوص عليها، قال وضبطها بعضهم بكل ذنب قرن به وعيد أو لعن
“Aku tidak mengetahui adanya satu batasan tentang dosa besar yang selamat dari sanggahan/kritik. Yang lebih tepat adalah membatasinya dengan sesuatu yang mengandung sikap peremehan orang yang melakukannya, sebagaimana sikap orang terhadap dosa besar yang paling kecil yang telah ditetapkan (dosa/hukuman) padanya. Sebagian lagi membatasinya dengan setiap dosa yang dihubungkan dengan ancaman atau laknat” [idem].
Ibnu Shalaah rahimahullah berkata :
لها أمارات منها إيجاب الحد، ومنها الإيعاد عليها بالعذاب بالنار ونحوها في الكتاب أو السنة، ومنها وصف صاحبها بالفسق، ومنها اللعن
“Ia mempunyai beberapa tanda/alamat, antara lain mengkonsekuensikan adanya hadd, adanya ancaman adzab neraka dan yang lainnya yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, disifatinya pelaku dengan kefasikan, dan adanya laknat” [idem].
Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
ومن أحسن التعاريف قول القرطبي في المفهم " كل ذنب أطلق عليه بنص كتاب أو سنة أو إجماع أنه كبيرة أو عظيم أو أخبر فيه بشدة العقاب أو علق عليه الحد أو شدد النكير عليه فهو كبيرة "
“Dan definisi yang paling baik adalah perkataan Al-Qurthubiy[18] dalam Al-Mufhim : Setiap dosa yang telah dimutlakkan dengannya melalui Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ bahwasannya ia sebagai dosa besar dengan lafadh kabiirah atau ‘adhiim; atau dikhabarkan padanya dengan kerasnya siksa (bagi pelaku); atau dikaitkan padanya hadd; atau kerasnya pengingkaran; maka itu semua adalah dosa besar” [idem].
Al-Qurthubiy Al-Mufassir rahimahullah berkata :
فكل ذنب عظم الشرع التوعد عليه بالعقاب وشدده، أو عظم ضرره في الوجود كما ذكرنا فهو كبيرة وما عداه صغيرة. فهذا يربط لك هذا الباب ويضبطه، والله أعلم.
“Maka setiap dosa yang ditetapkan syari’at dengan besar atau kerasnya ancaman padanya, atau besarnya bahaya/kerusakan perbuatan tersebut sebagaimana telah kami sebutkan, adalah dosa besar. Adapun selain dari itu disebut dosa kecil. Inilah yang mengikatmu dalam bab ini beserta batasannya. Wallaahu a’lam” [Tafsir Al-Qurthubiy, 5/160-161].
Adapun nash-nash yang menyebutkan tentang dosa besar, jumlahnya, jenisnya, dan lafadh-lafadhnya dapat disebutkan sebagai berikut :
Allah ta’ala berfirman :
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاعِنُونَ * إِلا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itu Aku menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah : 159-160].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُنِيرٍ سَمِعَ وَهْبَ بْنَ جَرِيرٍ وَعَبْدَ الْمَلِكِ بْنَ إِبْرَاهِيمَ قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ أَنَسٍ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْكَبَائِرِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ وَقَتْلُ النَّفْسِ وَشَهَادَةُ الزُّورِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muniir, ia mendengar Wahb bin Jariir dan ‘Abdul-Malik bin Ibraahiim, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari ‘Ubaidullah bin Abi Bakr bin Anas, dari Anas radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang dosa besar (al-kabaair). Beliau bersabda : “Syirik kepada Allah, durhaka kepada dua orang tua, membunuh jiwa (tanpa hak), dan persaksian palsu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2653].
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ حُمَيْدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa’d, dari ayahnya, dari Humaid bin ‘Abdirrahmaan, dari ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya termasuk di antara dosa besar yang paling besar adalah seseorang yang melaknat kedua orang tuanya”. Dikatakan kepada beliau : “Wahai Rasulullah, bagaimana bisa seseorang melaknat kedua orang tuanya ?”. Beliau menjawab : “Orang itu memaki ayah orang lain, sehingga orang  lain itu balas memaki ayah dan ibunya (orang pertama)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5973].
حدثني هارون بن سعيد الأيلي. حدثنا ابن وهب. قال: حدثني سليمان بن بلال، عن ثور بن زيد، عن أبي الغيث، عن أبي هريرة؛ أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : "اجتنبوا السبع الموبقات" قيل: يا رسول الله! وما هن؟ قال: "الشرك بالله. والسحر. وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق. وأكل مال اليتيم. وأكل الربا. والتولي يوم الزحف. وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات".
Telah menceritakan kepadaku Haaruun bin Sa’iid Al-Ailiy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Sulaimaan bin Bilaal, dari Tsaur bin Zaid, dari Abul-Ghaits, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan. Dikatakan : “Wahai Rasulullah, apakah itu ?”. Beliau menjawab : “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan harta anak yatim, memakan riba, melarikan diri dari peperangan, dan menuduh wanita mukminah baik-baik lagi suci telah berbuat zina” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 89].
حدثنا أبو عبد الرحمن ثنا حيوة قال أخبرني أبو هانئ أن أبا على عمرو بن مالك الجنبي حدثه فضالة بن عبيد عن رسول الله صلى الله عليه وسلم انه قال : ثلاثة لا تسأل عنهم رجل فارق الجماعة وعصى إمامه ومات عاصيا وأمة أو عبد أبق فمات وامرأة غاب عنها زوجها قد كفاها مؤنة الدنيا فتبرجت بعده فلا تسأل عنهم وثلاثة لا تسأل عنهم رجل نازع الله عز وجل رداءه فان رداءه الكبرياء وإزاره العزة ورجل شك في أمر الله والقنوط من رحمه الله
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Abdirrahmaan[19] : Telah menceritakan kepada kami Haiwah[20], ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Haani’[21] : Bahwasannya Abu ‘Aliy ‘Amru bin Maalik Al-Janbiy[22] telah menceritakan kepadanya Fudlaalah bin ‘Ubaid[23] dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda : Ada tiga orang yang jangan engkau tanyakan tentang keadaan mereka : (1) seorang laki-laki yang memisahkan diri dari jama’ah dan durhaka kepada imamnya dan ia pun akirnya mati dalam keadaan durhaka, (2) budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri, dan kemudian mati (dalam keadaan tersebut), serta (3) wanita yang ditinggal pergi suaminya dimana suaminya itu telah mencukupinya dengan nafkah dunia, lalu ia bertabarruj setelahnya (untuk selain suaminya). Jangan engkau tanya keadaan mereka !. Ada tiga orang lagi yang jangan engkau tanyakan tentang keadaan mereka : (1) seorang laki-laki yang menyaingi selendang Allah ‘azza wa jallaa, sedangkan selendang-Nya itu adalah kesombongan dan sarungnya adalah kemuliaan, (2) seorang laki-laki yang ragu akan kekuasaan Allah, serta (3) putus asa dari rahmat Allah” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/19; shahih].
حدثنا عثمان بن أبي شيبة وإسحاق بن إبراهيم. قال إسحاق: أخبرنا جرير. وقال عثمان: حدثنا جرير عن منصور، عن أبي وائل، عن عمرو بن شرحبيل، عن عبدالله قال :  سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم: أي الذنب أعظم عند الله؟ قال "أن تجعل لله ندا وهو خلقك" قال قلت له: إن ذلك لعظيم. قال قلت: ثم أي؟ قال: "ثم أن تقتل ولدك مخافة أن يطعم معك" قال قلت: ثم أي؟ قال "ثم أن تزاني حليلة جارك".
Telah menceritakan kepada kami ‘Utsmaan bin Abi Syaibah dan Ishaaq bin Ibraahiim. Ishaaq berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Jariir. ‘Utsmaan berkata : Telah menceritakan kepada kami Jariir; dari Manshuur, dari Abu Waail, dari ‘Amru bin Syarahbiil, dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Dosa apakah yang paling besar di sisi Allah ?”. Beliau menjawab : “Engkau membuat tandingan bagi Allah, padahal Dia yang menciptakanmu”. Aku berkata : “Sesungguhnya hal itu memang dosa yang sangat besar. Kemudian apa ?”. Beliau menjawab : “Kemudian, engkau membunuh anakmu karena khawatir ia akan makan bersamamu”. Aku berkata : “Kemudian apa ?”. Beliau menjawab : “Kemudian, engkau berzina dengan istri tetanggamu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 86].
حدثنا ابن سلام: أخبرنا عبيدة بن حميد أبو عبد الرحمن، عن منصور، عن مجاهد، عن ابن عباس قال : خرج النبي صلى الله عليه وسلم من بعض حيطان المدينة، فسمع صوت إنسانين يعذبان في قبورهما، فقال: (يعذبان، وما يعذبان في كبير، وإنه لكبير، كان أحدهما لا يستتر من البول، وكان الآخر يمشي بالنميمة). ثم دعا بجريدة فكسرها بكسرتين أو ثنتين، فجعل كسرة في قبر هذا، وكسرة في قبر هذا، فقال: (لعله يخفف عنهما ما لم ييبسا).
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Salaam : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Ubaidah bin Humaid Abu ‘Abdirrahmaan, dari Manshuur, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar dari sebagian pekuburan di Madinah. Lalu beliau mendengar suara dua orang manusia yang sedang diadzab di kuburnya. Beliau bersabda : ‘Keduanya sedang diadzab. Tidaklah keduanya diadzab karena dosa besar (menurut prasangka keduanya), padahal itu merupakan dosa besar. Salah satu di antara keduanya diadzab karena tidak membersihkan diri/bersuci dari kencing, dan yang lain karena selalu melakukan namiimah (adu domba)”. Kemudian beliau meminta pelepah daun kurma yang masih basah dan membelahnya menjadi dua bagian. Satu bagian potongan ditancapkan di salah satu kubur tersebut, dan satu bagian lagi di kubur yang lain. Lalu beliau bersabda : “Semoga hal ini dapat meringankan siksa keduanya selama pelepah itu belum kering” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6055].
Al-Bukhaariy meletakkan hadits di atas pada bab : Termasuk dosa besar tidak berlindung diri dari air kencingnya  (من الكبائر أن لا يستتر من بوله) dan bab : Namiimah termasuk dosa besar (النميمة من الكبائر).
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة، ومحمد بن المثنى، وابن بشار، قالوا: حدثنا محمد بن جعفر، عن شعبة، عن علي ابن مدرك، عن أبي زرعة، عن خرشة بن الحر، عن أبي ذر، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال" ثلاثة لا يكلمهم الله يوم القيامة، ولا ينظر إليهم، ولا يزكيهم، ولهم عذاب أليم" قال فقرأها رسول الله صلى الله عليه وسلم ثلاث مرار. قال أبو ذر: خابوا وخسروا. من هم يا رسول الله؟ قال" المسبل والمنان والمنفق سلعته بالحلف الكاذب".
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, Muhammad bin Al-Mutsannaa, dan Ibnu Basyaar, mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far, dari Syu’bah, dari ‘Aliy bin Mudrik, dari Abu Zur’ah, dari Kharsyah bin Al-Hurr, dari Abu Dzarr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah di hari kiamat, tidak dilihat, dan tidak pula disucikan serta baginya adzab yang sanga pedih.  Abu Dzar berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mengucapkannya tiga kali”. Kemudian Abu Dzarr bertanya : “Sungguh sangat jelek dan meruginya, Siapakah mereka itu wahai Rasulullah ?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “(Mereka adalah) Musbil (orang yang melakukan isbal), orang yang gemar mengungkit-ungkit kebaikan yang telah diberikan, dan orang yang menjual barang dagangannya dengan sumpah palsu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 106].
حدثنا محمد بن بشار، قال: حدثنا عبد الرحمن قال، حدثنا سفيان، عن الأعمش، عن أبي الضحى، عن مسروق، عن عبد الله قال: الكبائر، من أول"سورة النساء" إلى ثلاثين منها.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyaar[24], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan[25], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan[26], dari Al-A’masy[27], dari Abudl-Dluhaa[28], dari Masruuq[29], dari ‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : “Dosa-dosa besar (al-kabaair) adalah yang tercantum di awal surat An-Nisaa’ sampai ayat tigapuluh” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam At-Tafsiir, 8/233 no. 9168; sanadnya dla’if karena ‘an’anah Al-A’masy, dan ia seorang mudallis. Akan tetapi ia shahih dengan banyaknya jalan periwayatan].
حدثني ابن المثنى قال، حدثني وهب بن جرير قال، حدثنا شعبة، عن عبد الملك، عن أبي الطفيل، عن عبد الله قال: الكبائر أربع: الإشراك بالله، والأمن من مكر الله، والإياس من رَوْح الله، والقنوط من رحمة الله
Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mutsannaa[30], ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Wahb bin Jariir[31], ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah[32], dari ‘Abdul-Malik[33], dari Abuth-Thufail[34], dari ‘Abdullah (bin Mas’uud), ia berkata : “Dosa-dosa besar (al-kabaair) itu ada empat, yaitu syirik kepada Allah, merasa aman dari makar Allah, putus asa dari kemudahan/karunia Allah, dan putus asa dari rahmat Allah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam At-Tafsiir, 8/243 no. 9196; shahih].
حدثني يعقوب بن إبراهيم قال، حدثنا ابن علية قال، أخبرنا زياد بن مخراق، عن طيسلة بن مياس قال: كنت مع النَّجَدات، فأصبت ذنوبًا لا أراها إلا من الكبائر! فلقيت ابن عمر فقلت: أصبتُ ذنوبًا لا أراها إلا من الكبائر! قال: وما هي؟ قلت: أصبت كذا وكذا. قال: ليس من الكبائر = قال: لشيء لم يسمِّه طيسلة = قال: هي تسع، وسأعدُّهن عليك: الإشراك بالله، وقتل النَّسَمة بغير حِلِّها، والفرار من الزحف، وقذفُ المحصنة، وأكل الربا، وأكل مال اليتيم ظلمًا، وإلحادٌ في المسجد الحرام، والذي يستسحر، وبكاء الوالدين من العقوق = قال زياد: وقال طيسلة: لما رأى ابن عمر فَرَقِي قال أتخاف النار أن تدخلها؟ قلت: نعم! قال: وتحب أن تدخل الجنة؟ قلت: نعم! قال: أحيٌّ والداك؟ قلت: عندي أمي. قال: فوالله لئن أنت ألَنْت لها الكلام، وأطعمتها الطعامَ، لتدخلنّ الجنة ما اجتَنَبْتَ الموجِبات
Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin Ibraahiim, ia berkata : Telah berkata kepada kami Ibnu ‘Ulayyah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ziyaad bin Mikhraaq[35], dari Thaisalah bin Mayyaas[36], ia berkata : Aku pernah bersama/bergabung dengan kelompok Najdaat (yaitu : kelompoknya Najdah bin ‘Aamir Al-Khaarijiy), lalu kemudian aku tertimpa satu dosa yang aku melihatnya termasuk dosa-dosa besar. Lalu aku menemui Ibnu ‘Umar, lalu kukatakan kepadanya : “Aku tertimpa dosa yang aku melihatnya termasuk dosa-dosa besar”. Ia bertanya : “Apakah itu ?”. Aku berkata : “Aku mengalami demikian dan demikian”. Ia menjawab : “Itu bukan dosa besar. Dosa besar itu ada sembilan macam. Akan aku sebutkan kepadamu : (1) Syirik kepada Allah, (2) membunuh jiwa tanpa kehalalannya, (3) melarikan diri dari pertempuran/jihad, (4) menuduh wanita baik-baik lagi suci telah berzina, (5) memakan riba, (6) memakan harta anak yatim secara dhalim, (7) melakukan pembangkangan di Al-Majidil-Haraam, (8) melakukan sihir, dan (9) tangisan kedua orang tua karena kedurhakaan (anaknya)”. Ziyaad berkata : Thaisalah berkata : Ketika Ibnu ‘Umar melihat ketakutanku (atas dosa yang aku perbuat), ia berkata : “Apakah engkau khawatir masuk neraka ?”. Aku menjawab : “Benar”. Ia berkata : “Dan engkau ingin masuk ke dalam surga ?”. Aku menjawab : “Benar”. Ia berkata : “Apakah kedua orang tuamu masih hidup ?”. Aku berkata : “Aku masih punya seorang ibu”. Ia berkata : “Maka demi Allah, apabila engkau melembutkan perkataanmu terhadapnya dan memberi makan kepadanya, niscaya engkau akan masuk surga, selama engkau meninggalkan mujiibaat/dosa-dosa besar” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy 8/239-240 no. 9187; shahih].
Apa yang disebutkan dalam jumlah dan jenis dosa besar pada riwayat-riwayat di atas bukanlah pembatas, karena banyak sekali sebagaimana dijelaskan dalam definisi sebelumnya.
Inilah kira-kira penjelasan singkat tentang apa itu dosa besar. Semoga Allah ta’ala selalu melindungi dan menjauhkan kita darinya.
اَللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِيْ وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ اَللَّهُمَ نَقِّنِيْ مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ اَللَّهُمَّ اغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَايَايَ بِالثَّلْجِ وَالْمَاءِ وَالْبَرَدِ
Ya Allah, jauhkanlah diriku dari dosa-dosaku sebagaimana Engkau telah menjauhkan jarak antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari segala dosa-dosaku seperti baju putih yang dibersihkan dari noda. Ya Allah, cucilah diriku dari segala dosa-dosaku dengan salju, air, dan embun” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 744 dan Muslim no. 598].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abu al-jauzaa’ – bogor, 3 syawwaal 1431].


[1]        Ya’quub bin Ibraahiim bin Katsiir bin Zaid bin Aflah Al-‘Abdiy Al-Qaisiy Abu Yuusuf Ad-Dauraqiy; seorang yang tsiqah, termasuk dari kalangan huffaadh (166-252 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1087 no. 7866].
[2]        Ia adalah Ismaa’iil bin Ibraahiim bin Miqsam  Al-Asadiy Abu Bisyr Al-Bashri, dikenal dengan Ibnu ‘Ulayyah; seorang yang tsiqah lagi haafidh (110-193 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 136 no. 420].
[3]        Ayyuub bin Abi Tamiimah As-Sikhtiyaaniy Abu Bakr Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi hujjah (w. 131 H).Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 158 no. 610].
[4]        Muhammad bin Siiriin Al-Anshaariy, tabi’iy masyhur; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 110 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 853 no. 5985].
[5]        Ia adalah Muhammad bin Al-‘Alaa’ bin Kuraib Al-Hamdaaniy Abu Kuraib Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi haafidh (w. 247/248). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 885 no. 6244].
[6]        Husyaim bin Basyiir bin Al-Qaasim As-Sulamiy Abu Mu’aawiyyah; seorang yang tsiqah lagi tsabt, namun banyak melakukan tadlis dan irsal khafiy (104/105-183 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1023 no. 7362].
[7]        Manshuur bin Zaadzaan Al-Waashithiy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi ‘aabid (w. 128/129/131 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 972 no. 6946].
[8]        Hisyaam bin Hassaan Al-Azdiy; seorang yang tsiqah dan merupakan perawi yang paling tsaabit periwayatannya dari Muhammad bin Siiriin (w. 146/147/148 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1020-1021 no. 7339].
[9]        Muhammad bin Waasi’ bin Jaabir bin Al-Akhnas bin ‘Aaidz bin Khaarijah bin Ziyaad Al-Azdiy Abu Bakr/’Abdillah Al-Bashriy; seorang yang tsiqah (w. 123 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 904 no. 6408].
[10]       Sa’iid bin Jubair bin Hisyaam Al-Asadi; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faqiih (w. 95 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 374-375 no. 2291].
[11]       Sufyaan bin Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Al-Kuufiy; seorang yang lemah [Natsnun-Nabaal, hal. 598 no. 1304] – namun riwayatnya dapat digunakan sebagai i’tibar sebagaimana yang diterapkan oleh Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah 5/90.
[12]       Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy Abu Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah tsabat, lagi ‘aabid (127/128/129-196/197 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1037 no. 7464].
[13]       Muhammad bin Mihzam Asy-Sya’’aab Al-‘Abdiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah [Al-Jarh wat-Ta’diil, 8/102 no. 437].
[14]       Muhammad bin ‘Amru bin Al-‘Abbaas Abu Bakr Al-Baahiliy; seorang yang tsiqah (w. 249 H) [Taariikh Baghdaad 4/213-215 no. 1411 dan Rijaal Tafsiir Ath-Thabariy hal. 505 no. 2387].
[15]       Ia adalah Adl-Dlahhaak bin Makhlad bin Adl-Dlahhaak bin Muslim bin Adl-Dlahhaak Asy-Syaibaaniy Abu ‘Aashim An-Nabiil Al-Bashriy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (121/122-211/212 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 459 no. 2994].
[16]       ‘Iisaa bin Maimuun Al-Jurasyiy Al-Makkiy Abu Muusaa; seorang yang tsiqah [idem, hal. 772 no. 5369].
[17]       ‘Abdullah bin Abi Najiih Yasaar Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, kadang melakukan tadlis (w. 131 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 552 no. 3686].
Pensifatan tadliis tersebut berasal dari An-Nasaa’iy, yaitu khusus periwayatan tafsir dari Mujaahid. Ibnu Hajar menyebutkannya dalam Ta’riifu Ahlit-Taqdiis hal. 90 no. 77. Yahyaa bin Sa’iid berkata : “Ibnu Abi Najiih tidak mendengar tafsir dari Mujaahid”. Ibnu Hibbaan berkata : “Ibnu Abi Najiih adalah sama dengan Ibnu Juraij dalam kitab Al-Qaasim bin Abi Bazzah dari Mujaahid di bidang tafsir. Keduanya meriwayatkan dari Mujaahid tanpa penyimakan (samaa’)” [Ats-Tsiqaat, 7/5]. Maka dapat diketahui bahwa Ibnu Abi Najiih mendapat riwayat tafsir dari Mujaahid secara wijaadah. Dan riwayat wijaadah-nya ini adalah diterima.
Ad-Duuriy berkata : “Aku mendengar Yahyaa (bin Ma’iin) berkata : Telah berkata Sufyaan bin ‘Uyainah : ‘Tidak ada seorang pun yang mendengar tafsir Mujaahid kecuali Al-Qaasim bin Abi Bazzah”. Aku pun bertanya kepada Yahyaa : “Jadi, Ibnu Abi Najiih tidak mendengar riwayat (tafsir) dari Mujaahid ?”. Yahyaa berkata : “Begitulah yang dikatakan Sufyaan” [Taariikh Ad-Duuriy, 1/80 no. 426]. Sedangkan Sufyaan sendiri menshahihkan tafsir Ibnu Abi Najiih. Telah berkata ‘Abdurrahmaan bin Al-Hakam bin Basyiir bin Sulaimaan, dari Wakii’ : “Sufyaan menshahihkan tafsir Ibnu Abi Najiih” [Tahdziibul-Kamaal, 16/217].
Adapun Ibnu Ma’iin sendiri menerima tafsir Ibnu Abi Najiih dari Mujaahid. Ad-Duuriy berkata : Aku bertanya kepada Yahyaa : “Lalu, tafsir Sa’iid lebih engkau kagumi ataukah tafsir Warqaa’ ?”. Ia menjawab : “Tafsir Warqaa’ lebih aku kagumi, karena ia berasal dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid. Sedangkan ini dari Sa’iid dari Qataadah. Mujaahid lebih aku kagumi daripada Qataadah” [Taariikh Ad-Duuriy, 2/233 no. 4499]. Di lain tempat Ad-Duuriy berkata : Dikatakan kepada Ibnu Ma’iin : “Apakah engkau memandang satu kejelekan apabila orang-orang meriwayatkan darinya dan menulis setiap hadits Warqaa’, dari Ibnu Abi Najiih, dari Mujaahid ?”. Ia menjawab : “Tidak mengapa dengannya” [idem, 2/316 no. 5022].
Kesimpulan : Riwayat tafsir Ibnu Abi Najiih dari Mujaahid adalah shahih. Wallaahu ta’ala a’lam.
[18]       Ia bukan Al-Qurthubiy penulis kitab tafsir Al-Jaami’ li-Ahkaamil-Qur’aan. Al-Qurthubiy di sini adalah Abul-‘Abbaas Ahmad bin ‘Umar bin Ibraahiim Al-Haafidh Al-Anshaariy Al-Qurthubiy rahimahumallaah.
[19]       ‘Abdullah bin Yaziid Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy Al-Madaniy Al-Muqri’ Al-A’war; seorang yang tsiqah (w. 148 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 558 no. 3737].
[20]       Haiwah bin Syuraih bin Shafwaan bin Malik At-Tajiibiy Abu Zur’ah Al-Mishriy; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi zaahid (w. 158/159 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 282 no. 1610].
[21]       Humaid bin Haani’ Abu Haani’ Al-Khaulaaniy Al-Mishriy; seorang yang tsiqah, laa ba’sa bih (w. 142 H). Dipakai Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 276 no. 1571].
[22]       ‘Amru bin Maalik Al-Hamdaaniy Al-Muraadiy Abu ‘Aliy Al-Janbiy Al-Mishriy; seorang yang tsiqah (w. 102/103 H) [idem, hal. 744 no. 5140].
[23]       Fudlaalah bin ‘Ubaid bin Naafidz bin Qais Al-Anshariy; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (w. 58 H).
[24]       Muhammad bin Basyaar bin ‘Utsmaan Al-‘Abdiy Abu Bakr Al-Bashriy, dikenal dengan nama Bundaar; seorang yang tsiqah (167-252 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 828 no. 5791].
[25]       ‘Abdurrahman bin Mahdiy bin Hassaan bin ‘Abdirrahmaan Al-‘Anbariy Abu Sa’iid Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi haafidh (w. 198 H dalam usia 63 tahun). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 601 no. 4044].
[26]       Sufyaan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah (107-198 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 395 no. 2464].
[27]       Ia adalah Sulaimaan bin Mihraan Al-Asadiy Al-Kaahiliy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aalim terhadap qira’aat (w. 147/148 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 414 no. 2630].
[28]       Muslim bin Shubaih Al-Hamdaaniy Abudl-Dluhaa Al-Kuufiy Al-‘Aththaar; seorang yang tsiqah (w. 100 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 939 no. 6676].
[29]       Masruuq bin Al-Ajda’ bin Maalik bin Umayyah Abu ‘Aaisyah Al-Kuufiy (w. 62/63 H); seorang yang tsiqah.  Dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 935 no. 6645].
[30]       Muhammad bin Al-Mutsannaa bin ‘Ubaid bin Qais bin Diinaar Al-‘Anziy; seorang yang tsiqah lagi tsabat (w. 252 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 892 no. 6304].
[31]       Wahb bin Jariir bin Haazim bin Zaid bin ‘Abdillah Al-Azdiy Abul-‘Abbaas Al-Bashriy; seorang yang tsiqah (w. 206). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 1043 no. 7522].
[32]       Syu’bah bin Al-Hajjaaj bin Al-Ward Al-‘Atakiy Al-Azdiy Abul-Busthaam Al-Waasithiy Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi mutqin (w. 160 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 436 no. 2805].
[33]       ‘Abdul-Malik bin Sa’iid bin Hayyaan bin Abhaar Al-Hamdaaniy; seorang yang tsiqah. Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 623 no. 4209].
[34]       ‘Aamir bin Waatsilah bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Jahsy Al-Laitsiy Abuth-Thufail; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
[35]       Ziyaad bin Mikhraaq Al-Muzanniy Abul-Haarits Al-Bashriy; seorang yang tsiqah [idem, hal. 348 no. 2110].
[36]       Thaisalah bin Mayyaas As-Sulamiy; seorang yang tsiqah [Tahdziibul-Kamaal, 13/467-468 no. 2998-2999].

Tidak ada komentar: