Oleh : Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy hafidhahullah.
Termasuk kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh para ulama adalah bahwasannya :
شيعوعة الفعل وانتشاره لا يدلُّ على جوازِه؛ كما أنَّ كتْمَه لا يدلُّ على منعه.
“Tersebar dan tersiarnya satu perbuatan tidak (selalu) menunjukkan akan kebolehannya, sebagaimana tersembunyinya satu perbuatan juga tidak menunjukkan akan pelarangannya”.[1]
Ibnu Muflih berkata dalam Al-Aadaabusy-Syar’iyyah (1/163) :
ينبغي أن يُعرفَ أنَّ كثيرا من الأمور يفعل فيها كثير من الناس خلافَ الأمر الشرعي، ويشتهر ذلك بينهم، ويقتدي كثير من الناس بهم في فعلهم.
والذي يتعيَّنُ على العارف مخالفتهم في ذلك قولا وفعلا، ولا يثبطه عن ذلك وحدته وقلة الرفيق.
وقد قال الشيخ محي الدين النواوي : ولا يغتر الإنسانُ بكثرةِ الفاعلين لهذا الذي نُهينا عنه ممَّن لا يراعي هذه الآدابَ، وامتثلْ ما قاله السيد الجليل الفضيلُ بنُ عياض : لا تستوحِشْ طُرُقَ الهدى لقلة أهلها، ولا تغترَّ بكثرةِ الهالكين.
وقال أبو الوفاء ابنُ عُقيل في ((الفنون)) : مَن صدر اعتقادُهُ عن برهان؛ لم يبقَ عندهُ تلوُّنٌُ يُراعي به أحوال الرجال : أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ.
وكان الصديقُ رضي اللهُ عنهُ مِمَّنْ يثْبُتُ على اختلاف الأحوال، فلم تتقلَّب به الأحوالُ في كلِّ مقامٍِ زلَّتْ به الأقْدَام....
“Hendaknya diketahui bahwa perkara-perkara yang dilakukan kebanyakan manusia yang menyelisihi syari’at dan hal itu masyhur di kalangan mereka serta banyak yang mengikutinya; maka yang wajib bagi seorang yang ‘aarif (mengetahui) adalah menyelisihi mereka baik dengan perkataan maupun perbuatan. Tidak boleh semuanya itu menghalanginya dan mencegahnya (untuk melakukan penyelisihan) karena sedikitnya kawan (yang mengikutinya).
Telah berkata Asy-Syaikh Muhyiddiin An-Nawaawiy : ‘Janganlah manusia terpedaya dengan banyaknya orang melakukan sesuatu yang terlarang, yaitu dari kalangan orang-orang yang tidak menjaga adab-adab ini. Ikutilah apa yang dikatakan oleh As-Sayyid Al-Jaliil Al-Fudlail bin ‘Iyaadl : ‘Janganlah engkau mengangap buruk jalan-jalan petunjuk karena sedikitnya orang yang menjalaninya. Dan jangan pula terpedaya karenanya banyaknya orang-orang yang binasa’.
Telah berkata Abul-Wafaa’ Ibnu ‘Uqail dalam kitab Al-Funuun : ‘Barangsiapa keyakinannya berasal dari bukti (nash-nash syar’iyyah), hilanglah pada dirinya sikap ikut arus terpengaruh kondisi manusia di sekelilingnya. (Allah ta’ala berfirman : ) ‘Apakah jika dia (Muhammadd) wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad) ?.[2]
Adalah Ash-Shiddiiq (Abu Bakr) radliyallaahu ‘anhu termasuk orang yang teguh dalam berbagai keadaan. Keadaannya tidak berubah dalam setiap tempat saat kaki-kaki banyak yang tergelincir…..”.
Hingga perkataannya :
وقد يكون الإنسانُ مسلما إلى أن يضيقَ به عيشٌ، وإنما دينُنا مبنيٌ على شَعَثِ الدنيا وصلاح الآخرة، فمن طلب به العاجلة؛ أخطأ.
“Dan terkadang seorang muslim dipersempit kehidupannya. Agama kami dibangun hanyalah berdasarkan sedikitnya dunia (zuhud) dan kebaikan akhirat. Barangsiapa yang hanya mencari dunia semata, maka ia telah keliru” [selesai perkataan Ibnu Muflih].
Aku (Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy) berkata : Apabila kita telah mengetahui itu semua, nampaklah kebatilan alasan kebanyakan manusia yang melakukan berbagai bid’ah : ‘kebanyakan manusia berada di atasnya (!) atau ; ‘kebanyakan orang melakukannya’…. atau yang lainnya dari alasan-alasan yang bathil dan ta’wil-ta’wil yang layak untuk diabaikan.
Dalam risalahku yang berjudul Dzammul-Katsratil-Mukatstsiriin[3] terdapat banyak penyebutan dari ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengecam orang-orang terpedaya dengan alasan mayoritas atau bangga untuk memperbanyak (amalan atau dukungan).
Telah berkata Al-‘Allaamah Ibnul-Qayyim dalam Ighaatsatul-Lahfaan min Maqaayidisy-Syaithaan (hal. 132-135 – Mawaaridul-Amaan) :
فالصبر الصادق لا يستوحش من قلة الرفيق ولا من فقده إذا استشعر قلبه مرافقة الرعيل الأول، الذين أنعم الله عليهم من النبيين والصديقين والشهداء والصالحين وحسن أولئك رفيقا، فتفرد العبد فى طريق طلبه دليل على صدق طلبه.
ولقد سُئِلَ إسحاق بن راهويه عن مسألة فأجاب عنه. فقيل له: إن أخاك أحمد ابن حنبل يقول فيها بمثل ذلك. فقال: ما ظننت أن أحدا يوافقنى عليها
ولم يستوحش بعد ظهور الصواب له من عدم الموافقة، فإن الحق إذا لاح وتبين لم يحتج إلى شاهد يشهد به. والقلب يبصر الحق كما تبصر العين الشمس. فإذا رأى الرائى الشمس لم يحتج فى علمه بها واعتقاده أنها طالعة إلى من يشهد بذلك ويوافقه عليه.
“Orang yang sabar lagi benar (imannya) tidaklah merasa kesepian karena sedikitnya teman dan bahkan kehilangan darinya, apabila ia telah merasa dalam hatinya berteman dengan generasi pertama yang telah Allah anugerahkan nikmat kepada mereka, dari kalangan nabi, orang-orang yang benar (shiddiiqiin), orang-orang yang mati syahid (syuhadaa’), dan orang-orang shaalih; dan merekalah sebaik-baik teman. Oleh karena itu, kesendirian seorang hamba dalam jalan mencari dalil adalah sebenar-benar usaha pencariannya.
Ishaaq bin Rahaawaih pernah ditanya tentang satu permasalahan dan ia pun menjawabnya. Dikatakan kepadanya : ‘Sesungguhnya saudaramu Ahmad bin Hanbal berkata tentang tentangnya sebagaimana hal itu’. Ishaaq berkata : ‘Tidaklah aku mengira ada seorang pun yang menyepakatiku padanya’.
Ia (Ishaaq) tidak merasa kesepian setelah nampak kebenaran baginya dari meskipun tidak ada orang yang menyepakatinya. Sesungguhnya kebenaran itu apabila nampak dan jelas, tidak membutuhkan saksi yang memberikan kesaksian dengannya. Hati melihat kebenaran sebagaimana mata melihat sinar matahari. Apabila seseorang telah melihat matahari, maka ia tidak membutuhkan dalam ilmu dan keyakinannya orang yang bersaksi dan menyepakatinya bahwa matahari telah terbit.
وما أحسن ما قال أبو محمد عبد الرحمن بن إسماعيل المعروف بأبى شامة فى كتاب الحوادث والبدع: "حيث جاء به الأمر بلزوم الجماعة فالمراد به لزوم الحق واتباعه، وإن كان المتمسك به قليلا والمخالف له كثيرا، لأن الحق هو الذى كانت عليه الجماعة الأولى من عهد النبى صلى الله تعالى عليه وسلم وأصحابه، ولا نظر إلى كثرة أهل البدع بعدهم. قال عمرو بن ميمون الأودى: "صحبت معاذا باليمن. فما فارقته حتى واريته فى التراب بالشام، ثم صحبت بعده أفقه الناس عبد الله بن مسعود رضى الله عنه، فسمعته يقول: عليكم بالجماعة، فإن يد الله على الجماعة، ثم سمعته يوما من الأيام وهو يقول: سَيَلى عليكم ولاة يؤخرون الصلاة عن مواقيتها، فصلوا الصلاة لميقاتها، فهى الفريضة، وصلوا معهم فإنها لكم نافلة. قال قلت: يا أصحاب محمد ما أدرى ما تحدثونا؟ قال: وما ذاك؟ قلت: تأمرنى بالجماعة وتحضنى عليها ثم تقول: صل الصلاة وحدك، وهى الفريضة، وصل مع الجماعة وهى نافلة؟ قال: يا عمرو بن ميمون، قد كنت أظنك من أفقه أهل هذه القرية، تدرى ما الجماعة؟ قلت: لا: قال: إن جمهور الجماعة: الذين فارقوا الجماعة. الجماعة ما وافق الحق، وإن كنت وحدك" وفى طريق أخرى: "فضرب على فخذى وقال: ويحك، إن جمهور الناس فارقوا الجماعة. وإن الجماعة ما وافق طاعة الله عز وجل". قال نعيم بن حماد: "يعنى إذا فسدت الجماعة فعليك بما كانت عليه الجماعة قبل أن تفسد، وإن كنت وحدك، فإنك أنت الجماعة حينئذ".
“Betapa bagus apa yang dikatakan Abu Muhammad ‘Abdurrahmaan bin Ismaa’iil yang dikenal dengan nama Abu Syaammah dalam kitab Al-Hawaadits wal-Bida’[4] : ‘Dimana saja datang perintah untuk berpegang pada jama’ah, maka maksudnya adalah berpegang kepada kebenaran dan mengikutinya, meskipun orang yang berpegang dengannya sedikit dan menyelisihi kebanyakan orang. Karena, kebenaran adalah sesuatu yang jama’ah pertama pada masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya berada di atasnya. Tidak perlu dipertimbangkan banyaknya ahlul-bida’ (yang menyelisihi mereka) setelahnya. Telah berkata ‘Amru bin Maimuun Al-Audiy : Aku bershahabat dengan Mu’aadz di Yaman. Aku tidak pernah meninggalkannya hingga aku menguburkannya di Syaam. Setelah itu, aku bershahabat dengan orang yang paling faqih, yaitu ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu. Ia pernah berkata : ‘Wajib atas kalian untuk berpegang pada jama’ah, karena tangan Allah berada di atas jama’ah’. Kemudian pada suatu hari aku mendengarnya berkata : ‘Akan memimpin kalian para pemimpin yang mengakhirkan shalat dari waktunya. Maka, shalatlah kalian pada waktunya, karena hal itu wajib. Kemudian, shalatlah bersama mereka, karena hal itu bagimu adalah sunnah’. Aku berkata : ‘Wahai shahabat Muhammad, aku tidak tahu apa yang engkau katakan pada diri kami ?’. Ia (Ibnu Mas’uud) berkata : ‘Apakah itu ?’. Aku berkata : ‘Engkau memerintahkanku untuk menetapi jama’ah dan menganjurkannya. Kemudian engkau berkata : Kerjakanlah shalat sendirian, karena hal itu wajib. Lalu shalatlah bersama jama’ah, karena hal itu sunnah ?’. Ia berkata : ‘Wahai ‘Amru bin Maimuun, semula aku menyangka engkau adalah orang yang paling faqih di daerah ini. Tahukah engkau apa itu jama’ah ?’. Aku menjawab : ‘Tidak’. Ia berkata : ‘Sesungguhnya kebanyakan orang yang ada (pada waktu itu) adalah orang-orang yang memisahkan diri dari jama’ah. Jama’ah (yang sesungguhnya) adalah apa-apa yang sesuai dengan kebenaran meskipun engkau sendirian’.[5] Dalam jalan yang lain : ‘Lalu ia (Ibnu Mas’uud) memukul dua pahaku dan berkata : ‘Celaka kamu, sesungguhnya kebanyakan orang telah memisahkan diri dari jama’ah. Dan sesungguhnya jama’ah (yang sebenarnya) adalah apa-apa yang sesuai dengan ketaatan kepada Allah ‘azza wa jalla’. Nu’aim bin Hammaad berkata : ‘Yaitu, apabila jama’ah orang-orang telah rusak, maka wajib atasmu untuk menetapi jama’ah sebelum keadaan mereka rusak meskipun engkau sendirian. Karena sesungguhnya engkaulah jama’ah pada waktu itu’.
وعن الحسن البصرى قال: "السنة، والذى لا إله إلا هو بين الغالى والجافى، فاصبروا عليها رحمكم الله، فإن أهل السنة كانوا أقل الناس فيما مضى وهم أقل الناس فيما بقى: الذين لم يذهبوا مع أهل الإتراف فى إترافهم، ولا مع أهل البدع فى بدعهم، وصبروا على سنتهم حتى لقوا ربهم، فكذلك إن شاء الله فكونوا".
وكان محمد بن أسلم الطوسى، الإمام المتفق على إمامته، مع رتبته أتبع الناس للسنة فى زمانه، حتى قال: "ما بلغنى سنة عن رسول الله صلى الله تعالى عليه وسلم إلا عملت بها، ولقد حرصت على أن أطوف بالبيت راكبا، فما مكنت من ذلك"، فسئل بعض أهل العلم فى زمانه عن السواد الأعظم الذين جاء فيهم الحديث: "إذَا اخْتَلَفَ النَّاسُ فَعَلَيكُمْ بِالسَّوَادِ الأعْظَمِ". فقال: "محمد بن أسلم الطوسى هو السواد الأعظم".
وصدق والله، فإن العصر إذا كان فيه إمام عارف بالسنة داع إليها فهو الحجة، وهو الإجماع، وهو السواد الأعظم، وهو سبيل المؤمنين التى من فارقها واتبع سواها ولاه الله ما تولى، وأصلاه جهنم، وساءت مصيرا.
Dan dari Al-Hasan Al-Bashriy, ia berkata : ‘As-Sunnah – demi Dzat yang tidak ada tuhan yang berhak disembah selain dari-Nya – antara orang-orang yang berlebih-lebihan dan yang meremehkan; maka bersabarlah (untuk menetapinya), semoga Allah merahmati kalian. Sesungguhnya Ahlus-Sunnah adalah orang yang paling sedikit jumlahnya di masa lalu dan masa setelahnya. Yaitu, mereka yang tidak pergi bersama orang-orang yang hidup mewah dalam kemewahan mereka, dan para pelaku bid’ah dengan kebid’ahan mereka. Dan mereka bersabar di atas sunnah mereka hingga bertemu dengan Rabb mereka. Seperti itulah - insya Allah – kalian harus berada’ (selesai perkataan Abu Syaammah – Abul-Jauzaa’).
Adalah Muhammad bin Aslam Ath-Thuusiy[6], seorang imam yang disepakati keimamannya dan orang yang paling mengikuti sunnah di jamannya, berkata : ‘Tidaklah sampai kepadaku satu sunnah yang berasal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kecuali aku mengamalkannya. Dan sungguh aku ingin thawaf mengelilingi Ka’bah dengan berkendara, namun tidak memungkinkan bagiku untuk melakukannya’. Sebagian ulama di jamannya pernah ditanya tentang as-sawaadul-a’dham yang terdapat dalam hadits : ‘apabila manusia berselisih, maka wajib bagi kalian berpegang pada as-sawaadul-a’dham’[7]; maka mereka (para ulama) berkata : ‘Muhammad bin Aslam Ath-Thuusiy, ia lah as-sawaadul-a’dham’[8].
Benar, demi Allah. Sesungguhnya jaman apabila terdapat seorang imam yang mengetahui sunnah dan mendakwahkan kepadanya, maka ia merupakan hujjah. Ia lah ijma’, as-sawaadul-a’dham, dan sabiilul-mukminiin (jalan orang-orang mukmin) yang barangsiapa memisahkan diri darinya dan mengikuti selainnya; maka Allah akan memalingkannya kepada apa yang ia berpaling, dan tempatnya adalah jahannam, sungguh itu seburuk-buruk tempat kembali[9]” [selesai perkataan Ibnu Qayyim].
Beliau rahimahullah melanjutkan :
ومن له خبرة بما بعث الله تعالى به رسوله، وبما عليه أهل الشرك والبدع اليوم فى هذا الباب وغيره، علم أن بين السلف وبين هؤلاء الخلوف من البعد أبعد مما بين المشرق والمغرب، وأنهم على شىء والسلف على شىء، كما قيل:
سَارَتْ مُشَرقَة وَسِرْتُ مُغَرب - شَتَّانَ بَيْنَ مُشَرقٍ وَمُغَربِ
والأمر والله أعظم مما ذكرنا.
وقد ذكر البخارى فى الصحيح عن أم الدرداء رضى الله عنها قالت: "دخل على أبو الدرداء مغضباً، فقلت له: مالك؟"، فقال: "والله ما أعرف فيهم شيئا من أمر محمد صلى الله تعالى عليه وآله وسلم، إلا أنهم يصلون جميعا".
“Barangsiapa mempunyai pengetahuan tentang sesuatu yang Allah ta’ala mengutus Rasul-Nya, serta tentang sesuatu yang orang-orang berbuat syirik dan bid’ah pada hari ini, niscaya ia akan mengetahui bahwa antara salaf dan orang-orang setelahnya (khalaf) keadaannya lebih jauh daripada timur dengan barat. Mereka di atas sesuatu, sedangkan salaf di atas sesuatu yang lain, sebagaimana dikatakan :
Ia berjalan ke arah timur dan aku berjalan ke arah barat, betapa jauh antara timur dengan barat
Padahal perkaranya, demi Allah, lebih agung daripada yang telah kami sebutkan.
Al-Bukhaariy telah menyebutkannya dalam Ash-Shahiih[10] dari Ummud-Dardaa’ radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : Abud-Dardaa’ mendatangiku dalam keadaan marah, maka aku bertanya kepadanya : “Ada apa denganmu ?”. Ia menjawab : “Demi Allah, tidaklah aku mengetahui sesuatu dari perkara Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, kecuali mereka semua mengerjakan shalat”.
وقال الزهرى: "دخلت على أنس بن مالك بدمشق، وهو يبكى، فقلت له: ما يبكيك؟"، فقال: "ما أعرف شيئاً مما أدركت إلا هذه الصلاة. وهذه الصلاة قد ضيعت". ذكره البخاري.
وهذه هي الفتنة العظمى التى قال فيها عبد الله بن مسعود رضى الله عنه: "كيف أنتم إذا لبستكم فتنة يهرم فيها الكبير، وينشأ فيها الصغير، تجري على الناس، يتخذونها سنة إذا غيرت قيل: غيرت السنة، أو: هذا منكر".
وهذا مما يدل على أن العمل إذا جرى على خلاف السنة فلا عبرة به ولا التفات إليه. فإن العمل قد جرى على خلاف السنة منذ زمن أبى الدرداء وأنس.
“Telah berkata Az-Zuhriy : “Aku pernah menemui Anas bin Maalik di Damaskus, dan ia waktu itu sedang menangis. Aku bertanya kepadanya : ‘Apa yang membuatmu menangis ?’. Ia berkata : ‘Aku tidak mengetahui sedikitpun dari apa yang aku jumpai kecuali shalat ini. Dan shalat ini pun (kini) telah disia-siakan’. Riwayat ini disebutkan oleh Al-Bukhaariy.
Ini adalah fitnah besar yang telah dikatakan oleh ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu : ‘Bagaimana keadaan kalian apabila kalian mengenakan pakaian fitnah yang telah menjadikan pikun orang-orang tua, membesarkan anak-anak kecil. Fitnah itu berjalan di antara orang-orang. Mereka mengambilnya sebagai sunnah yang apabila dirubah, dikatakan : Sunnah telah dirubah, atau : Ini adalah kemunkaran’.
Hal ini termasuk petunjuk bahwa satu amalan apabila berjalan menyelisihi sunnah, maka sia-sia lah ia dan tidak perlu untuk ditoleh. Juga sebagai petunjuk bahwa amalan telah berjalan menyelisihi sunnah semenjak jaman Abud-Dardaa’ dan Anas”.[11]
وذكر أبو العباس أحمد بن يحيى قال: حدثني محمد بن عبيد بن ميمون، حدثني عبد الله بن إسحاق الجعفري قال: كان عبد الله بن الحسن يكثر الجلوس إلى ربيعة، قال: فتذاكروا يوماً السنن، فقال رجل كان فى المجلس: ليس العمل على هذا، فقال عبد الله: "أرأيت إن كثر الجهال، حتى يكونوا هم الحكام، فهم الحجة على السنة؟"، فقال ربيعة: "أشهد أن هذا كلام أبناء الأنبياء".
“Dan telah berkata Abul-‘Abbaas Ahmad bin Yahyaa[12] : ‘Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin ‘Ubaid bin Maimuun : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdullah bin Ishaaq Al-Ja’fariy, ia berkata : Adalah ‘Abdullah bin Al-Hasan banyak bermajelis dengan Rabii’ah. Suatu hari, mereka memperbincangkan sunnah-sunnah. Berkata seorang laki-laki dalam majelis itu : ‘Tidak ada amal atas hal ini’. ‘Abdullah berkata : ‘Apa pendapatmu jika banyak orang bodoh yang kemudian menjadi hakim. Apakah mereka ini hujjah di atas sunnah ?’. Maka Rabii’ah berkata : ‘Aku bersaksi bahwa ini adalah perkataan anak-anak para nabi[13]” [selesai perkataan Ibnul-Qayyim].
Aku (Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy) berkata : Seorang muslim sejati adalah orang yang tidak dikalahkan oleh tersebarnya bid’ah, dalam memahami sunnah-sunnah. Sesungguhnya hal-hal yang telah mentradisi, sebagaimana ia membangun satu pokok, sekaligus ia juga menghancurkannya. Ia juga sangat mendominasi. Membebaskan diri darinya membutuhkan latihan jiwa dan komitmen terhadap sunnah[14].
Betapa bagusnya apa yang diriwayatkan Al-Khathiib Al-Baghdaadiy dalam Syarafu Ashhaabil-Hadiits (hal. 7) dengan sanad shahih dari Al-Auzaa’iy rahimahullah :
عليك بآثار من سلف وإن رفضك الناس؛ وإياك وآراء الرجال وإن زخرفوها لك بالقول.
“Wajib atas kamu berpegang pada atsar-atsar salaf meskipun orang-orang menolakmu. Dan waspadailah pendapat orang-orang, meskipun mereka menghiasinya dengan perkataan yang indah”.
Dan Allah lah yang memberikan petunjuk.
[diambil dari buku : ‘Ilmu Ushuulil-Bida’ oleh Asy-Syaikh ‘Aliy Al-Halabiy hafidhahullaah, hal. 271-277; Daarur-Rayyaah, Cet. 2/1417, Riyaadl – oleh Abu Al-Jauzaa’].
[1] Al-Hawaadits wal-Bida’ (hal. 71). Lihat juga : Marwiyyaatu Du’aa Khatmil-Qur’aan (hal. 66) oleh saudara kami Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid. Padanya terdapat tambahan faedah.
[2] QS. Aali ‘Imraan : 144.
[3] Semoga Allah ta’ala memudahkan untuk menyelesaikan (penulisan)-nya.
[4] Judulnya adalah : Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawaadits. Perkataannya tersebut ada pada halaman 19-20. Ibnu Abil-‘Izz Al-Hanafiy menukilnya dalam Syarh Ath-Thahaawiyyah (hal. 362).
Abu Syammah wafat pada tahun 665 H. Biografinya ada dalam kitab Tadzkiratul-Huffaadh (4/1460).
[5] Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa’iy dalam As-Sunnah (no. 160). Lihat kitabku : Ad-Da’wah ilallaah…. (hal. 89-95), pasal : Al-Jama’ah, peristilahan dan penjelasannya.
[6] Wafat tahun 242 H. Biografinya terdapat dalam Siyaru A’laamin-Nubalaa’ (12/195).
[7] Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah (no. 3950), Ibnu Abi ‘Aashim (no. 84), dan Al-Laalikaaiy (no. 153) dari Anas.
Sanadnya sangat lemah (dla’iif jiddan). Padanya terdapat Abu Khalaf Al-Makfuuf, namanya Haazim bin ‘Athaa’; riwayatnya ditinggalkan oleh sekelompok ulama dan didustakan oleh Ibnu Ma’iin.
[8] Hilyatul-Auliyaa’ (9/238-239), dan dari jalannya Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar (12/196).
[9] Sebagaimana diisyaratkan dalam QS. An-Nisaa’ : 15.
[10] (2/115)
[11] Ini adalah perkataan yang benar dan wajib ditulis – sebagaimana dikatakan – dengan tinta emas.
[12] Ia adalah Tsa’lab, seorang imam ahli bahasa yang masyhur. Wafat tahun 291 H. Biografinya terdapat dalam Siyaru A’laamin-Nubalaa’ (14/5) oleh Al-Imaam Adz-Dzahabiy.
[13] Al-Baa’its ‘alaa Inkaaril-Bida’ wal-Hawaadits (hal. 51) oleh Abu Syaammah.
[14] Marwiyyaatu Du’aa Khatmil-Qur’aan (hal. 75) oleh Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar