Jumat, 25 Mei 2012

MODERNISASI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN




BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang Masalah
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu, serta telah menjangkau hamper seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan. Tidak sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.

Namun, kini reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas pesantren masa kini terkesan berada di menara gading, elitis, jauh dari realitas social. Problem sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan, yaitu terjadi kesenjangan, alienasi (keterasingan) dan differensiasi (pembedaan) antara keilmuan pesantren dengan dunia modern. Sehingga terkadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan umum dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan kepada masalah-masalah globalisasi, yang dapat dipastikan mengandung beban tanggung jawab yang tidak ringan bagi pesantren.
Semakin disadari, tantangan dunia pesantren semakin besar dan berat dimasa kini dan mendatang. Paradigma “mempertahankan warisan lama yang masih relevan dan mengambil hal terbaru yang lebih baik” perlu direnungkan kembali. Pesantren harus mampu mengungkai secara cerdas problem kekiniankita dengan pendekatan-pendekatan kontemporer. Disisi lain, modernitas, yang menurut beberapa kalangan harus segera dilakukan oleh kalangan pesantren, ternyata berisi paradigm dan pandangan dunia yang telah merubah cara pandang lama terhadap dunia itu sendiri dan manusia.
Dalam konteks yang dilematis ini, pilihan terbaik bagi insane pesantren adalah mendialogkannya dengan paradigm dan pandangan dunia yang telah diwariskan oleh generasi pencerahan Islam. Maksudnya, insane pesantren perlu memosisikan warisan masa lalu sebagai “teman dialog” bagi modernitas dengan segala produk yang ditawarkannya. Mereka harus membaca khazanah lama dan baru dalam frame yang terpisah. Masa lalu hadir atau dihadirkan dengan terang dan jujur, lalu dihadapkan dengan kekinian. Boleh jadi masa lalu tersebut akan tampak “basi” dan tak lagi relevan, namun tak menutup kemungkinan masih ada potensi yang dapat dikembangkan untuk zaman sekarang.
Salah satu hal yang perlu dimodifikasi adalah system pendidikan pesantren. System pembelajaran tradisional, yaitu sorogan, bandongan, balaghan, atau halaqah seharusnya mulai diseimbangkan dengan system pembelajaran modern. Dalam aspek kurikulum juga seharusnya kalangan pesantren berani mengakomodasi dari kurikulum pemerintah.
B.  Rumusan Masalah
  1. Apa pengertian pesantren?
  1. Apa saja macam-macam pesantren?
  1. Bagaimana dinamika pesantren mulai ada hingga sekarang?
  1. Bagaimana system pendidikan pesantren?
  1. Apa saja dan bagaimana model pendidikan dalam proses modernisasi system pendidikan pesantren?
  1. Apa pengaruh modernisasi system pendidikan pesantren terhadap eksistensi pesantren itu sendiri
BAB II
PESANTREN
A.  Pengertian Pesantren
Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata santri sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.
Sedangkan secara istilah, Husein Nasr mendefinisikan pesantren dengan sebutan dunia tradisional Islam. Maksudnya, pesantren adalah dunia yang mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama’ (kiai) dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah Islam.
Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana.Dari terminology diatas, mengindikasikan bahwa secara kultural pesantren lahir dari budaya Indonesia. Mungkin dari sinilah Nur Cholis Majid berpendapat bahwa secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal lembaga pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.
B.  Bentuk-Bentuk Pesantren
Tentang bentuk-bentuk pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, beberapa pengamat mengklasifikasikan pesantren menjadi empat macam, yaitu:
  1. Pesantren salafi, yaitu pesantren yang tetap mempertahankan pelajarannya dengan kitab-kitab klasik, dan tanpa tanpa diberikan pengetahuan umum. Model pengajarannya pun sebagaimana yang lazim diterapkan dalam pesantren salaf, yaitu sorogan dan weton. 11 Weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal dari kyai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih-lebih kitabnya. Sedangkan sorogan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seseorang atau beberapa orang santri kepada kyainya untuk diajarkan kitab-kitab tertentu. 12 Sedangkan istilah salaf ini bagi kalangan pesantren mengacu kepada pengertian “pesantren tradisional” yang justru sarat dengan pandangan dunia dan praktek islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam bidang syari’ah dan tasawwuf. Misalnya: pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in Jombang, dan lain sebagainya.
  1. Pesantren khalafi, yaitu pesantren yang menerapkan sistem pengajaran klasikal (madrasi0, memberikan ilmu pengetahuan umum dan agama dan juga memberikan keterampilan umum. Pesantren jenis ini juga membuka sekolah-sekolah umum. Misalnya: Pesantren Tebuireng Jombang, Pesantren Tambak Beras Jombang, dan lain sebagainya.
Pesantren kilat, yaitu pesantren yang berbentuk semacam training dalam waktu yang relatif singkat, dan biasanya dilaksanakan pada waktu
liburan sekolah. Misalnya Pesantren La Raiba Jombang yang programnya adalah pelatihan menghafal asam’ul husna, Al Qur’an dan yang lain sebagainya dengan metode Hanifida, metode khas pesantren tersebut.
  1. Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih menekankan pada pendidikan vocasional atau kejujuran, sebagaimana balai pelatihan kerja, dengan program yang terintegrasi. Santrinya kebanyakan berasal dari kalangan anak putus sekolah atau para pencari kerja.
C.  Dinamika Pesantren
Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke-18. 17 bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13. Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar (santri), yang kemudian disebut pesantren. 18 Pesantren pertama didirikan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim. 19 Meskipun bentuknya masih sangat sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang terstruktur. Sehingga pendidikan ini dianggap sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.
Lembaga ini semakin berkembang pesat dengan adanya sikap non kooperatif para ulama terhadap kebijakan “politik etis” pemerintah kolonial Belanda dengan memberikan pendidikan modern, termasuk budaya barat. Namun pendidikan yang diberikan sangat terbatas, hanya sekitar 3% penduduk Indonesia. Berarti sekitar 97% penduduk Indonesia buta huruf. Sikap para ulama tersebut dimanifestasikan dengan mendirikan pesantren di daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi Belanda serta memberi kesempatan kepada rakyat yang belum mendapat pendidikan.
Pada tahun 1860-an, jumlah pesantren mengalami peledakan jumlah yang sangat signifikan, terutama di Jawa yang diperkirakan 300 buah. Perkembangan tersebut ditengarai berkat dibukanya terusan Suez pada 1869 sehingga memungkinkan banyak pelajar Indonesia mengikuti pendidikan di Mekkah. Sepulangnya ke kampung halaman, mereka membentuk le,baga pesantren di daerahnya masing-masing.
Pada era 1970-an, pesantren mengalami perubahan yang sangat signifikan yang tampak dalam beberapa hal. Pertama, peningkatan secara kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa pada tahun 1977, ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 667.384 orang. Jumlah tersebut meningkat menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397 orang santri pada tahun 1981. kemudian jumlah tersebut menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun 1985. 23Kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut diklasifikasikan menjadi empat, yaitu:
  1. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan formal dengan menerapkan kurikulum nasional, baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan  maupun yang juga memiliki sekolah umum. Seperti Pesantren Denanyar Jombang, Pesantren Darul Ulum Jombang, dan lain-lain.
  2. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan agama dalam bentuk Madrasah Diniyah, seperti Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Ploso Kediri, Pesantren Sumber Sari Kediri, dan lain sebagainya.
  3. Pesantren  yang  hanya  sekedar  manjadi  tempat pengajian, seperti Pesantren milik Gus Khusain Mojokerto.
  1. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan keagamaan dalam bentuk Madrasah dan mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum meski tidak menerapkan kurikulum nasional. Dengan kata lain, ia mengunakan kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta. kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara turun temurun, tanpa ada perubahan dan improvisasi yang berarti, kecuali sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang kurikulumnya berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya. 28
Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak mencerabut pesantren dari akar kulturnya. Secara umum pesantren tetap memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga pendidikan yang melakukan transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi addin) dan nilai-nilai islam (Islamic values). (2) Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol sosial (social control). (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa sosial (Social engineering). Perbedaan-perbedaan tipe pesantren diatas hanya berpengaruh pada bentuk aktualisasi peran-peran ini.
BAB III
MODERNISASI PENDIDIKAN PESNTREN
A.  Model Modernisasi Pendidikan Pesantren
Modernisasi atau inovasi pendidikan pesantren dapat diartikan sebagai upaya untuk memecahkan masalah pendidikan pesantren. Atau dengan kata lain, inovasi pendidikan pesantren adalah suatu ide, barang, metode yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang , baik berupa hasil penemuan (invention) maupun discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah pendidikan pesantren.
Miles mencontohkan inovasi (modernisasi) pendidikan adalah sebagai berikut
  1. Bidang personalia. Pendidikan yang merupakan bagian dari sistem sosial, tentu menentukan personel sebagai komponen sistem. Inovasi yang sesuai dengan komponen personel misalnya adalah peningkatan mutu guru, sistem kenaikan pangkat, dan sebagainya. 31 Dalam hal ini, pesantren telah di bantu dengan adanya program Beasiswa S1 untuk guru diniyah oleh Departemen Agama.
  1. Fasilitas fisik. Inovasi pendidikan yang sesuai dengan komponen ini misalnya perubahan tempat duduk, perubahan pengaturan dinding ruangan perlengkapan Laboratorium bahasa, laboratorium Komputer, dan sebagainya. 32
  1. Pengaturan waktu. Suatu sistem pendidikan tentu memiliki perencanan penggunaan waktu. Inovasi yang relevan dengan komponen ini misalnya pengaturan waktu belajar, perubahan jadwal pelajaran yang dapat memberi kesempatan siswa/mahasiswa untuk memilih waktu sesuai dengan keperluannya, dan lain sebagainya.
Menurut Nur Cholis Majid, yang paling penting untuk direvisi adalah kurikulum pesantren yang biasanya mengalami penyempitan orientasi kurikulum. Maksudnya, dalam pesantren terlihat materinya hanya khusus yang disajikan dalam bahasa Arab. Mata pelajarannya meliputi fiqh, aqa’id, nahwu-sharf, dan lain-lain. Sedangkan tasawuf dan semangat keagamaan yang merupakan inti dari kurikulum keagamaan cenderung terabaikan. Tasawuf
hanya dipelajari sambil lalu saja, tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern. Disisi lain, pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengah-setengah, sehingga kemampuan santri biasanya samgat terbatas dan kurang mendapat pengakuan dari masyarakat umum. Maka dari itu, Cak Nur menawarkan kurikulum Pesantren Modern Gontor sebagai model modernisasi pendidikan pesantren.
B.  Plus Minus Modernisasi Pendidikan Pesantren
Dalam menanggapi gagasan ini, tampak kalangan pesantren terbelah menjadi dua, yaitu pro dan kontra. Adanya kontroversi ini mungkin lebih disebabkan pada perbedaan pendapat mereka tentang bagaimana sikap pesantren dalam menghadapi era globalisasi. Mereka yang pro mengatakan bahwa modernisasi pesantren akan memberi angin segar bagi pesantren. Mereka menganggap bahwa banyak sisi positif yang akan diperoleh dengan modernisasi pendidikan di pesantren. Di antara sisi positif tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Sebagai bentuk adaptasi pesantren terhadapperkembangan era globalisasi. Hal ini mutlak harus dilakukan agar pesantren tetap eksis.
  2. Sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan dalam sistem pendidikan pesantren.
Sedangkan bagi kalangan pesantren yang tidak setuju dengan gagasan modernisasi berpendapat bahwa gagasan tersebut banyak sisi negatifnya, diantaranya adalah: Modernitas akan merubah cara pandang lama terhadap dunia dan manusia.
Terlepas dari polemik tersebut, perbedaan pendapat yang terjadi telah mendatangkan sisi positif tersendiri bagi pesantren. Hal itu telah membuktikan hadits Nnabi Muhammad Saw ”ikhtilafu ummati rahmatun” yang artinya ”perbedaan pendapat dalam umatku adalah rahmat”. Diantara manfaat dari perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah: Melahirkan banyak pesantren yang bervariasi. Banyak pesantren yang memiliki ciri khas masing-masing. Ini memberikan banyak pilihan kepada calon santri dalam menentukan pesantren yang sesuai dengan bakat, minat serta cita-citanya.
Lahirnya santri yang beraneka ragam. Hal ini mengubur paradigma bahwa santri hanya mampu di bidang agama saja. Saat ini, banyak sekali santri yang ahli di bidang pengetahuan umum.
BAB IV
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun yang lalu, serta telah menjangkau hamper seluruh lapisan masyarakat muslim. Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung, pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang sangat berjasa bagi masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan. Tidak sedikit pemimpin bangsa yang ikut memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini adalah alumni atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.
Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe- dan akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan kata santri sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa sansekerta yang artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang jawa yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa, dari kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.
Secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal lembaga
pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya. 
Bentuk-bentuk pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, beberapa pengamat mengklasifikasikan pesantren menjadi empat macam 41, yaitu:
1.      Pesantren salafi.
2.      Pesantren khalafi
3.      Pesantren kilat.
4.      Pesantren terintegrasi.
Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar abad ke-18. 42 Bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13. saat ini, pekembang pesantren sangat pesat. Pada awal perkembangannya hanya berjumlah 300 buah, dan berkembang menjadi 15.900 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun 1985. 43 bisa dibayangkan berapa banyak jumlah pesantren dan santrinya saat ini.
Gagasan modernisasi dianggap perlu dilakukan oleh beberapa kalangan, salah satunya adalah Nur Cholis Majid. Ia berpendapat bahwa modernisasi ini sebaiknya dilakukan dengan model sistem pendidikan Pesantren Modern Gontor Ponorogo.
Namun gagasan ini telah memecah kalangan pesantren menjadi dua kubu, pro dan kontra. Namun kontroversi ini telah menimbulkan variasi tersendiri dikalangan pesantren. Ini merupakan salah satu sisi positif dari perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan pesantren.
B.  Saran
Perbedaan pendapat adalah hal yang biasa dalam menyikapi suatu gagasan. Maka dari itu, tidak perlu dibesar-besarkan. Kalangan pesantren harus bisa bersikap dewasa dan berpikir positif dalam hal ini. Hal ini salah satu judul buku Harun Yahya,”Seeing good in the something”.

DAFTAR PUSTAKA
A’la,  Abd.  2006.  Pembaruan  Pesantren,cet  I.  Yogyakarta:  PT.  LKiS Pelangi Aksara.
Iskandar,  Muhaimin.  2007.  Gus  Dur,  Islam  dan  Kebangkitan  Indonesia, Cet.I. Jakarta: KLIK R.
Khozin. 2006. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. II. Malang: UMM Press.
Malik, Jamaludin. 2005. Pemberdayaan Pesantren, Menuju Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, Cet. I,Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho. 2005. Manajemen Pondok Pesantren, Cet. II. Jakarta: Diva Pustaka
Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap PendidikanIslam Tradisional, Jakarta: Ciputat Press.

Tidak ada komentar: