Para ulama berselisih menjadi dua pendapat dalam permasalahan ini :
1. Wajib bagi wanita berdiam diri menetap di dalam rumah.
Ini adalah pendapat jumhur mufassiriin, seperti Al-Jashshash dalam Ahkaamul-Qur’aan (5/229-230), Al-Qurthubiy dalam Tafsir-nya (17/141), Ibnul-‘Arabiy dalam Ahkaamul-Qur’aan (6/343), Ibnu Katsiir dalam Tafsir-nya (6/409), Asy-Syaukaaniy dalam Fathul-Qadiir (4/366), dan yang lainnya. Dalil mereka adalah firman Allah ta’ala :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الأولَى
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu” [QS. Al-Ahzaab : 33].
Kata qarna adalah fi’il amr (kata perintah) dari kata qarar yang menunjukkan kewajiban – sebagaimana ma’ruf dalam ilmu ushul. Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata :
صيغة الأمر عند الإطلاق تقتضي: وجوب المأمور به، والمبادرة بفعله فوراً.
“Bentuk perintah secara mutlak memberikan konskuensi : wajibnya sesuatu yang diperintahkan dan bersegera untuk melakukannya pada waktu itu juga” [Al-Ushuul min ‘Ilmil-Ushuul, hal. 24; Daar Ibnil-Jauziy, Cet. Thn. 1426].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :
وقوله: { وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ } أي: الزمن بيوتكن فلا تخرجن لغير حاجة.
“Firman-Nya : ‘dan hendaklah kamu tetap di rumahmu’; yaitu tetaplah ada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian keluar tanpa ada keperluan” [Tafsir Ibni Katsiir, 6/409].
2. Disunnahkan bagi wanita berdiam diri menetap di dalam rumah.
Pendapat ini dipegang oleh jumhur ulama. Ibnu Hajar rahimahullah menisbatkan pendapat ini kepada sejumlah shahabat, seperti ‘Umar dan ‘Utsmaan; kemudian ia (Ibnu Hajar) menukil perkataan Al-Baihaqiy rahimahullah :
وفيه دليل على أن الأمر بالقرار في البيوت ليس على سبيل الوجوب.
“Padanya terdapat dalil bahwa permasalahan berdiam diri/tinggal di dalam rumah (bagi wanita) bukanlah satu kewajiban” [Fathul-Baariy, 4/75].
Dalil-dalil yang dipakai oleh para ulama yang berada di barisan pendapat ini antara lain :
Firman Allah ta’ala :
وَاللاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّى يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلا
“Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya” [QS. An-Nisaa’ : 15].
Sisi pendalilannya : Allah ta’ala memerintahkan kaum muslimin untuk menghukum para wanita yang berbuat keji dengan mengurungnya di dalam rumah.[1] Ini menunjukkan bahwa tinggal di dalam rumah bukan merupakan hukum asal bagi para wanita, namun ia diperintahkan karena ada sebab (yaitu hukuman atas perbuatan keji yang dilakukan).
Firman Allah ta’ala :
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30) وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya…” [QS. An-Nuur : 30-31].
Sisi pendalilannya : Allah ta’ala telah memerintahkan laki-laki dan wanita untuk menundukkan pandangan, sedangkan menundukkan pandangan ini dibutuhkan jika terjadi kontak atau percampur-bauran. Lazimnya, hal ini terjadi di luar rumah, sehingga ayat ini merupakan dalil diperbolehkannya wanita keluar rumah.
Sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
قد علمت أنك تحبين الصلاة معي وصلاتك في بيتك خير لك من صلاتك في حجرتك وصلاتك في حجرتك خير من صلاتك في دارك وصلاتك في دارك خير لك من صلاتك في مسجد قومك وصلاتك في مسجد قومك خير لك من صلاتك في مسجدي
“Aku sudah tahu bahwa kamu suka shalat bersamaku, sedangkan shalatmu di rumahmu itu lebih baik dari shalatmu di serambimu, dan shalatmu di serambimu lebih baik dari shalat shalatmu di bale rumahmu, shalatmu di bale rumahmu lebih baik dari shalatmu di masjid kampungmu, dan shalatmu di masjid kampungmu lebih baik dari shalatmu di masjidku…” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/371, Ibnu Khuzaimah no. 1689, Ibnu Hibbaan no. 2217, Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Al-Isti’aab 4/446, dan yang lainnya; dihasankan oleh Al-Arna’uth dalam Takhrij-nya atas Al-Musnad, 45/37, Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 1/1421].
لا تمنعوا نساءكم المساجد وبيوتهن خير لهن
“Janganlah kalian melarang istri-istri kalian pergi ke masjid-masjid, dan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/76, Abu Daawud no. 567, Ibnu Khuzaimah o. 1684, Ath-Thabaraaniy 12/328, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Daawud, 1/169, Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1419].
Sisi pendalilannya : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang para suami mencegah istri-istri mereka pergi ke masjid (jika aman dari fitnah). Seandainya tinggal di rumah itu merupakan kewajiban secara asal bagi para wanita, tentu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan para suami mencegah istri-istri mereka pergi ke masjid, karena hal itu hanyalah sunnah saja bagi mereka sedangkan rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka (dibandingkan masjid).[2]
Para ulama yang memegang pendapat ini juga berdalil dengan ijma’. Ibnu Hajar menyebutkan dalam permasalahan bolehnya safar bagi wanita bersama para wanita tsiqaat apabila ada jaminan keamanan dalam perjalanan (di jalan); bahwasannya ‘Umar memperbolehkan istri-istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan haji dan ‘umah di akhir masa kekhilafahannya setelah sebelumnya ia tawaquf. Begitu juga dengan ‘Utsmaan bin ‘Affaan, ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf, dan yang lainnya tanpa ada pengingkaran dari shahabat yang lain [Fathul-Baariy, 4/76].
Tarjih
Dengan melihat dalil-dalil yang ada, maka nampak bahwa pendapat kedua lebih kuat daripada yang pertama. Perintah yang terdapat dalam QS. Al-Ahzaab ayat 33 itu memang pada asalnya menunjukkan kewajiban. Akan tetapi ada dalil-dalil lain yang memalingkan kewajiban itu pada makna sunnah sebagaimana dikemukakan oleh ulama yang memegang pendapat kedua.
Pentarjihan atas pendapat kedua ini tidaklah mengkonsekuensikan wanita menjadi bebas keluar rumah tanpa aturan. Ia boleh keluar rumah jika aman dari fitnah dan memenuhi rambu-rambu syari’at, sebagaimana telah ma’ruf.
Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – ditulis di rumah bapak di wonokarto, wonogiri, jawa tengah, Indonesia – banyak mengambil faedah dari buku Hukmu ‘Amalil-Mar’ah fil-Fiqhil-Islaamiy oleh ‘Adnaan bin Dlaifillah Aalusy-Syawaabikah, taqdim & ta’liq : Abu ‘Ubaidah Masyhuur bin Hasan Salmaan; Ad-Daarul-Atsariyyah, Cet. 1/1428].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar