
sesungguhnya kepemimpinan itu amanah, dan pada hari kiamat nanti akan menjadi kehinaan dan penyesalan kecuali bagi yang menunaikan hak dan melaksanakan tanggungjawabnya. ( H.R. Muslim).
Hadits di atas adalah permohonan Abu Dzar kepada Rasulullah SAW untuk diangkat menjadi gubernur di salah satu wilayah daulah islamiyah. Abu Dzar dianggap sebagai orang lemah dan tidak mampu memegang kendali kepemimpinan dalam pemerintahan. Rasulullah tidak meluluskan permohonan tsb. seraya mengemukakan alasannya sebagai tertera dalam hadits di atas.
Secara etimologis kata-kata “amanah”, “iman”, “aman” dan “amn(=Ketenangan)” berasal dari derivasi akar kata yang sama yaitu “ Hamzah, mim dan nun” yang memiliki pangkal makna “ aman”, “tenteram”,“tidak merasa takut”. (lih. Al Mu’jam al “Araby al Asasy, hal.109. Al Mu’jamu al Wasith , Juz I, hal. 28. Al Qamus al Muhith, hal 1518 ). Hakekat maknanyapun saling berkaitan erat. Iman tidak terwujud sempurna kalau tidak ada amanah
, begitu juga sebaliknya. Rasa aman dan ketenanganpun tidak akan
terrealisir kalau tidak ada iman dan amanah. Konsekwensi logisnya,
seorang mukmin yang tidak amanah perlu dicurigai kesahihan
imannya , demikian juga seorang yang amanah tapi tidak beriman,
amanahnya adalah palsu yang didasari atas kepentingan pribadi, politik
atau kelompoknya.
Hal ini diungkapkan oleh sebuah hadits yang acap kali disampaikan Rasulullah dalam khutbahnya : Tidak ada keimanan bagi seorang yang tidak amanah dan tidaklah ada manfaat beragama bagi orang yang tidak memegang janji.(H.R. Ahmad).
Amanah merupakan perasaan hati sanubari yang hidup, yang mendorong manusia untuk menunaikan hak-hak Allah dan hak-hak manusia serta melindungi semua amal perbuatan dari penyakit ifrath (berlebihan) dan tafrith (pengabaian). Amanah merupakan suatu keharusan dalam kehidupan ini.
Kepemimpinan dalam semua levelnya adalah tugas berat. Semakin tinggi level yang dipimpin semakin besar tanggung jawabnya. Maka hanya orang amanahlah yang mampu melaksanakan kepemimpinan secara bertanggung jawab, karena ia menyadari bahwa kepemimpinan adalah taklif (beban berat) dan bukan tasyrif ( kehormatan). Orang yang berprinsip demikian tidak merasa bangga bila diberi jabatan ataupun bersedih ketika diturunkan dari jabatannya. Ia tahu bahwa jabatan atau kepemimpinan adalah beban yang harus dipikulnya bukan kesempatan untuk menggaruk keuntungan sebanyak-banyaknya.
Semakin tinggi kadar keimanan seseorang semakin
besar amanahnya dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dan pada
gilirannya akan semakin besar pula pengaruhnya dalam menciptakan
keamanan dan ketenteraman bawahan atau rakyat yang dipimpinnya. Khalifah
Umar r.a. yang memerintah dari kota Madinah pernah menyatakan:
Seandainya ada seekor keledai terperosok di kota Baghdad, niscaya Umar
akan ditanya oleh Allah (Di akhairat nanti) :”Mengapa engkau (Hai Umar)
tidak meratakan jalannya ?”.
Betapa hebat sifat amanah dan rasa tanggung jawab yang dimiliki Amirul mu’minin ini. Kendati jarak kota Baghdad amat jauh dari Madinah namun karena kebesaran amanahnya dia yakin bahwa semua kesengsaraan atau bahkan ketidaknyamanan hidup yang dirasakan oleh seluruh rakyatnya merupakan tanggungjawabnya belaka.
Orang amanah adalah pembawa keamanan, dan penebar kebajikan serta kedamaian bagi
setiap individu dan masyarakat. Ia berusaha mengajak manusia kepada
petunjuk Allah, dan perbaikan umat, serta membimbing ke arah kebahagiaan
dunia dan akhirat. Di suatu negri manapun, bila mayoritas penduduk dan
pejabatnya amanah, tidak ada pemerkosaan hak, kedzaliman, manipulasi,
kolusi, korupsi, intimidasi dan tindakan-tindakan lain yang melawan hukum Allah.
Kendati teknologi canggih belum ada pada masa Rasulullah saw dan Khulafaur Rasyidin, ilmu pengatahuan belum berkembang sepesat sekarang, namun rakyat hidup
sejahtera, aman, tenteram dan penuh kasih sayang. Tidak ada seorangpun
yang merasa didzalimi haknya atau ditindas oleh atasannya. Karena
mayoritas penduduk dan para pejabat saat itu berakhlak mulia dan
bersifat amanah. Setiap orang mengetahui hak dan kewajibannya. Lebih
dari itu keadilan dan kasih sayang dijadikan penguasa sebagai pusat perhatiannya.
Seandainya di era globalisasi ini para pemegang amanah sepersepuluh dari jumlah penduduk yang ada, kondisi umat ini akan berbeda. Krisis ekonomi, krisis ketenangan jiwa dan krisis-krisis lainnya tidak akan terjadi separah sekarang ini.
Keamanan, ketenangan dan ketenteraman senantiasa lahir bersama amanah dan keimanan. Rasa takut dan kegelisahan muncul akibat khianat dan kufur nikmat.
Rasa aman itu nikmat sedangkan rasa takut adalah musibah. Pokok pangkal
kenikmatan manusia terdapat pada rasa aman dan kelapangan hidup. Sedangkan pokok pangkal malapetaka terdapat pada rasa takut dan kesempitan hidup. Bila Iman dan amanah ada dalam diri para pemimpin berarti umat manusia akan hidup nyaman dan aman . Dalam suatu hadits disebutkan : “Apabila
amanah diabaikan, maka tunggulah masa kehancuran. Ditanyakan kepada
Rasulullah .:”Apakah bentuk pengabaian amanah ?” Beliau menjawab :”Bila
urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah saat
kehancurannya.”( H.R. Bukhari dari Abu Hurirah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar