Jumat, 26 Oktober 2012

Memaknai Idul Adha



Selamat Idul Adha semua... Semoga kurban kita diterima Allah SWT.


Tulisan ini adalah sekedar refleksi tentang "pemaknaan" kurban. Di masjid, saat usai shalat Id, sang khatib berceramah tentang makna kurban. Dalam bahasa Suroboyoan dia mengungkapkan bahwa yang selayaknya dikurbankan adalah seluruh sifat buruk dari manusia. Oleh karena itu, kurban tidak akan berguna jika kita terus menerus berbuat keburukan. "Sembelihlah seluruh sifat burukmu", begitu ucapnya.

Di rumah saya mendengarkan makna kurban lain dari Prof. Quraish Shihab. Kata beliau kurban itu sebenarnya adalah cara Allah mengangkat kemanusiaan manusia. Begitu berharganya darah manusia, hingga Allah mengganti Ismail AS dengan seekor kambing sebagai kurban. Jika manusia begitu berharga, maka ini adalah sentilan bagi mereka yang mengatasnamakan Jihad dalam aksi terorisme.

Pemaknaan umum lain adalah semangat kebersamaan dan saling berbagi. Ironisnya, hal ini bertentangan dengan yang terjadi di masyarakat. Di kompleks saya, misalnya, baru2 ini dipasang plang: "pengemis, pengamen dilarang masuk". Waduh... apakah ini semangat berbagi? Ini adalah bukti nyata bahwa kita belum bisa mempraktikkan kurban yang sesungguhnya dalam kehidupan kita. Kita sudah menciptakan dan memupuk suatu 'kesenjangan' (seperti yang diungkapkan dalam buku sosialisme religius suntingan Dahlan) dan menegasikan empati sosial. Yang kaya harus dipisahkan dari yang miskin.

Dan memang mungkin kita semakin miskin. Tidak hanya itu, tetapi kita semakin miskin empati dan nurani. Buktinya?? Berita Jawa Pos 9 Desember 2008, menceritakan tentang ibu2 yang tergenjet saat mengantri daging kurban. Seorang kawan menimpali, "masak gitu aja ngantri... kayak gak pernah makan daging saja." Komentar ini adalah bukti hilangnya empati. Masih kurang empiris?? Saya masih ada bukti lain.

Saat saya melintasi masjid Sabilillah, Blimbing di Malang tanggal yang sama sekitar jam 9.30, saya melihat antrian pengemis yang menunggu daging kurban. Kebetulan saya naik bemo ABG (bukan anak baru gede, tapi Arjosari- B nya gak tahu- Gadang). Nah supir bemo menyeletuk.."tuh, masak yang ngantri daging gendut-gendut". Komentar ini ditimpali penumpang lain, "jangan salah pak, mereka gitu kaya-kaya, saya punya toko, dan kalau mereka tukar uang hasil ngemis, bisa ratusan ribu rupiah."

Jadi, kita memang menjadi kurang empati karena realita? Atau memang suuzon??

Lalu bagaimana dengan pemaknaan lain: keikhlasan, mencintai dhuafa, bentuk takwa, dan masih banyak lagi? Saya rasa itu semua tidak salah. Toh, tiada yang saling berbantah-bantahan tentang makna kurban. Hmm... bicara tentang berbantahan..

Bukankah aneh, bahwa penetapan hari raya idul adha tidak diwarnai dengan perdebatan sengit seperti penetapan hari raya idul fitri? Saya tidak habis pikir mengapa demikian. Padahal keduanya juga menggunakan penanggalan Islam dan mengacu pada kerajaan Saudi. Apakah karena idul adha (yang bermakna kurban) membuat para aliran yang berbeda menanggalkan egosentrisme keyakinannya? Jika ya, bukankah seharusnya kita menjaga niat baik itu sepanjang tahun?

Apapun, semoga kita menjadi manusia yang lebih baik dengan kurban.

Tidak ada komentar: